Jakarta, Menaramercusuar.com– Komisaris PT. Pratama Prima Bajatama (PPB), bernama Deddy Setiawan Tan, diduga kuat telah melakukan tindak pidana penganiayaan dan penyekapan terhadap orang lain sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP dan Pasal 333 KUHP. Penganiayaan dan penyekapan itu dilakukan Bos Deddy, sebut saja demikian, terhadap karyawannya sendiri bernama Rico Pujianto, pada 10 hingga 12 Oktober 2020 lalu, di kantor perusahaan besi baja itu di Jl. Raya Narogong km 13 Pangkalan Tiga, Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat.
Akibat penganiayaan dan penyekapan tersebut, korban mengalami memar-memar dan trauma serta terlihat selalu ketakutan dan letih sepanjang hari. Kasus penganiayaan dan penyekapan bos terhadap karyawannya ini telah dilaporkan ke Polisi [1].
Bos Deddy membentak, meninju, menampar dan memukuli saya berkali-kali di depan istrinya, Ibu Ing, dan kawan-kawan saya. Bahkan Bos Deddy sempat masuk ke ruangan kantornya yang hanya berjarak 8 meter dari tempat saya duduk, dan berteriak keras sambil mencari samurainya, ‘mana samurai gua, biar gua matiin sekalian’. Rupanya, samurai tersebut sudah disembunyikan istri Bos Deddy, takut terjadi hal-hal yang fatal. Jika ketemu samurai itu, mungkin saya sudah mati,” ungkap Rico menceritakan peristiwa mengerikan yang dialaminya itu kepada Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, saat mengadukan nasibnya, di Sekretariat PPWI, Jakarta Barat, beberapa waktu lalu.
Korban juga menjelaskan bahwa Bos Deddy memerintahkan kawan-kawannya agar tidak melihat ke arahnya yang sedang disiksa dan dipukuli, sehingga mereka hanya menunduk takut, tidak berani melihat kejadian mengenaskan yang sedang berlangsung di depan mata mereka. Bahkan, kata Rico, Bos Deddy menyuruh salah satu karyawan, Dindon, untuk mematikan CCTV agar kejadian penganiayaan yang sedang berlangsung tidak terekam kamera pengawas.
Kemarahan Bos Deddy, menurut penuturan korban yang merupakan warga Semarang, Jawa Tengah ini, bermula dari kecurigaan sang Bos yang menuduh pemuda lajang berusia 33 tahun itu telah menilap uang hasil penjualan besi wiremesh. Sebagai informasi, Rico Pujianto bersama 5 orang rekannya merupakan sales wiremesh yang diproduksi oleh PT. PPB. Rico ditugaskan untuk memasarkan wiremesh (besi rangkaian yang digunakan untuk konstruksi jalan beton) di wilayah Jawa Tengah. Rico telah bekerja di perusahaan ini selama 2,5 tahun.
Dalam proses penjualan wiremesh itu, kata Rico, pada periode bulan-bulan menjelang dia dianiaya dan disekap, sekitar 30 persen produk wiremesh dari PT. PPB ditolak oleh pelanggan karena berkarat, tidak memenuhi standar kualitas yang diinginkan. Barang tolakan tersebut dititipkan Rico di sebuah bengkel las milik temannya, Slamet Riyadi, di Desa Karangcegak, Kecamatan Sumbang, Purwokerjo, Jawa Tengah. Rico menitipkan barang tersebut karena ketiadaan biaya angkut kembali ke gudang PT. PPB di Bantar Gebang, Bekasi, yang mencapai puluhan juta rupiah.
Atas kekurangan setoran hasil penjualan, karena sebagian barang (wiremesh) ditolak pelanggan, itulah kemudian Bos Deddy menuduh Rico telah menggelapkan uangnya sehingga sang Bos gelap mata dan penuh emosi melakukan kekerasan fisik dan non-fisik terhadap karyawannya, Rico Pujianto. Akibat pemukulan yang dialami korban, disamping mentalnya yang terluka, wajahnya juga memar dan luka di sana-sini. Ancaman pembunuhan dengan samurai juga membuatnya penuh ketakutan dan trauma.
“Saya dituduh melakukan penggelapan dan penipuan uang perusahaan. Tanpa mau mendengarkan penjelasan saya, Bos Deddy memukul dan menampar berulang kali, disaksikan istri Bos Deddy yang bernama Ibu Ing dan teman-teman. Pak Deddy melarang teman-teman untuk melihat peristiwa pemukulan, sehingga teman-teman saya semuanya menunduk takut dan tidak berani melihat. Teman saya bernama Riki Kusnadi berada di sebelah kiri, tidak ada seorangpun yang berani menyaksikan peristiwa penganiyaan dan pemukulan itu,” urai Rico yang menemui Wilson Lalengke bersama ayahnya, Alex, pada Senin, 22 Maret 2021 lalu.
Penganiayaan yang dimulai sejak pukul 13.00 wib kemudian terhenti setelah Direktur kepercayaan Bos Deddy bernama Winoto, SH mendekati Bos berusia 55 tahun itu untuk menenangkannya. Winoto yang merupakan mantan anggota DPRD Bekasi itu akhirnya tergerak untuk mendekati bos-nya ini setelah melihat gelagat yang kurang baik saat sang bos mencari samurai yang menurut Bos Deddy akan digunakan untuk membunuh Rico. Winoto berhasil menenangkan Deddy, dan berhentilah penganiayaan atas Rico hari itu.
Penganiaan berhenti, namun berlanjut dengan proses penyekapan atau perampasan kemerdekaan Rico. Handphone-nya disita. Dia tidak diizinkan menghubungi bapak dan ibunya serta anggota keluarga lainnya. Teman-teman kerjanya dilarang meminjamkan handphone kepada Rico walau sekedar untuk menghubungi keluarganya. Bahkan, seorang satpam bernama Azis diperintahkan untuk menjaga dan mengawasi Rico. Kemanapun korban beranjak, semisal saat minta izin untuk ke toilet, sang satpam mengikuti dan menungguinya di depan toilet. Jika lalai, Azis terancam dipecat si Bos Deddy.
Malamnya, cerita Rico melanjutkan, sekitar pukul 20.30 wib, Rico bersama beberapa karyawan ditugaskan ke Purwokerto untuk melihat besi wiremesh karatan yang oleh Rico dititipkan di sebuah bengkel temannya. Rico, masih dengan pengawasan ketat sang satpam Azis, ditempatkan di bak mobil fuso selama perjalanan ke Purwokerto. “Semula, Bos Deddy menginstruksikan ke satpam agar selama dalam perjalanan, saya ditempatkan di bak mobil fuso belakang dan diikat dengan tali. Namun, karena merasa kasihan, satpam tidak mengikat saya,” ujar Rico sedih.
Setiba di Purwokerto pada esok harinya, Minggu subuh, 11 Oktober 2020, team yang terdiri atas 3 mobil fuso dan mobil pribadi, dengan dikawal oleh Bos Deddy langsung menuju bengkel las penitipan barang tolakan. Karena hari masih gelap-gulita, sekira pukul 04.00 wib, keadaan bengkel masih sepi, orang tua Slamet Riyadi yang menunggui bengkel masih tidur, pagar tertutup rapat. Tidak ingin menunggu lama, pintu pagar yang terkunci dibuka paksa gemboknya menggunakan gunting besar oleh Galuh, salah satu karyawan yang ikut rombongan, atas perintah Winoto dan Bos Deddy. Besi wiremesh rongsokan yang ditimbun di bengkel itupun dimuat ke dalam mobil-mobil fuso dan dibawa kembali ke gudang di Bekasi.
Kasus penganiayaan dan penyekapan ini telah dilaporkan ke Polres Bekasi [2]. Saat ini, berkas laporan telah diambil alih penanganannya oleh Polda Metro Jaya. Ayah korban, Alex, sangat berharap agar Bos PT. Pratama Prima Bajatama, Deddy Setiawan Tan dan para cecunguknya itu segera ditangkap dan diproses hukum. “Saya meminta PPWI untuk membantu kami agar kasus yang dialami anak saya ini bisa segera diproses. Para pihak yang terlibat dalam penganiayaan dan penyekapan anak saya, Rico Pujianto segera ditindak sesuai hukum yang berlaku,” pinta Alex.
Merespon kasus tersebut, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, menyatakan bahwa pihaknya sangat prihatin dan menyayangkan atas perilaku brutal oknum komisaris perusahaan terhadap karyawannya yang sudah memberi dia keuntungan dalam bisnisnya. “Saya heran, terbuat dari apa hati manusia, si pemilik PT Pratama Prima Bajatama itu yaa? Tanpa kerja keras karyawan, Anda tidak mungkin mendapatkan keuntungan dalam usaha dan bisnis. Semestinya Anda hargai dan sayangi karyawan supaya usahanya lebih berkah, lebih memberi manfaat bagi Anda dan orang lain. Bukan malah menyiksa karyawan,” kata Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 ini menyesalkan perilaku hewani oknum Deddy Setiawan Tan itu.
Untuk itu, lanjut Lalengke, PPWI mendesak Polri untuk mengusut kasus ini secepat-cepatnya. Jangan biarkan manusia yang diduga bermental rakus, kasar dan suka menyiksa sesamanya itu berkeliaran di luar. “Jangan karena dia banyak uang, polisi aji mumpung memanfaatkan situasi dan menjadikannya ATM sebagaimana kebiasaan oknum polisi selama ini [3], yang akhirnya keadilan bagi korban dikorbankan. Harus ditangkap segera orang ini, pasal pidananya jelas, penganiayaan, intimidasi, ancaman pembunuhan, dan penyekapan serta perampasan kemerdekaan seseorang,” tegas lulusan pasca sarjana bidang Applied Ethics dari Utrecht University, Belanda, dan Linkoping University, Swedia itu.
Berdasarkan data yang didapatkan di lapangan, kata Lalengke lagi, perusahaan itu diduga keras melakukan penggelapan pajak, praktek leasing kendaraan bermotor, dan beberapa pelanggaran perundangan lainnya [4]. “Dari data dan informasi yang kita dapatkan, bos PT. Pratama Prima Bajatama itu terindikasi kuat telah melakukan penggelapan pajak dengan nilai miliaran rupiah. Modusnya adalah menjual produk dengan 2 kategori: produk ber-PPN dan barang tidak ber-PPN. Pembayaran barang ber-PPN dilakukan melalui transfer rekening antar bank, sementara pembayaran barang non-PPN dilakukan secara tunai. Merugikan negara ini orang, harus diusut semua dugaan tindak kejahatannya,” pungkas Lalengke yang merupakan trainer bagi ribuan anggota TNI, Polri, guru, dosen, mahasiswa, wartawan, LSM, ormas dan masyarakat umum di bidang jurnalistik itu. (APL/Red)